Bismillah...
Manusia hidup di dalam jenis atmosfer yang tidak hanya satu. Berkarakter dan bertalenta memang penting, tapi untuk apa ketika hanya bisa menjadi pengkritisi tapi tak pernah intropeksi. Merasa paling hebat tidak sepenuhnya salah, tapi untuk apa kalau tidak pernah mau memosisikan diri menjadi orang lain yang juga saudaranya sendiri? Untuk apa kalau hanya untuk menjatuhkan saudaranya yang memang sepenuhnya memelas untuk dibantu? Pandai membawa diri sepertinya bukan melihat siapa kita, tapi bagaimana kita melihat keadaan posisi dan kondisi saudara disamping kita.
Aneh ya? Ketika ada yang mengharap terus diberi tapi tak pernah memberi.
Ketika banyak yang menuntut ingin dihormati tapi tak pernah menghormati orang lain.
Tidak pernah menerima ketika di kritik tapi terus mencela dan mencari kesalahan orang lain.
Ingin terus dilihat orang lain, tapi tak pernah menengok keadaan saudaranya sendiri.
Maunya terus dimengerti banyak orang, tapi tak pernah mau memahami sikap saudaranya sendiri.
Setidaknya, ketika sudah tidak mampu lagi membantu, tak usahlah menghina, meninggalkan doa untuknya pasti jauh lebih mulia dibanding hanya menertawakan dan mencibirnya.
Ya, mungkin rasa malu itu sekarang mempunyai harga paling tinggi di pasaran.
Hanya orang-orang 'kaya' yang mampu yang membeli. Itu dia yang menjadikannya mahal, tidak semua mampu membelinya.
Dan yang paling janggal, kuantitas orang-orang 'kaya' itu tidak banyak, bahkan sangat langka. Itu, mereka yang berani dengan gagah mengakui kesalahannya, mengumumkan niat suci permintaan maafnya. Tanpa gengsi dan takut pamornya turun.
Ooh atau mungkin mereka yang hanya bisa mencela tanpa do'a itu merasa bangga ketika banyak orang yang segan berteman dengannya? Oh jangan-jangan mereka merasa puas setelah nafsu amarahnya menjadi topik perbincangan banyak kerabatnya? Atau begini, mereka berpendapat mimpi menjadi dewa yang dilayani banyak orang karena ulah yang merendahkan dirinya sindiri itu menjadi kenyataan? Kasihan sekali ya?
Banyak yang merasa menjadi juru kunci setelah menyimak banyak aib saudaranya. Dan tragisnya, mereka merasa menjadi satu-satunya orang yang paling jumawa ketika saudaranya yang lain tahu tentang aib saudaranya yang satu lagi. Bangga karena bisa mengekspos semua yang memang perlu pembenahan. Dan itu mereka anggap seperti ajang promosi kehormatan dan bakat. Padahal semua bisa diselesaikan baik-baik dan tak perlu ditorehkan kepada muka dunia. Menggelikan bukan?
Entah apa namanya ini sesuatu yang memang tak pantas untuk ditiru siapapun yang merasa berilmu dan berakhlak. Bukankah seantero dunia juga tahu, setiap kepala dinilai dari cara dia berbicara, dinilai dari perilakunya. Bagaimana akan dianggap terhormat kalau perilakunya saja sudah tidak menghormati dirinya sendiri? Sangat disayangkan, padahal sikap yang tidak santun itu yang membuatnya tidak terhormat itu, yang mereka anggap sebagai tameng kegagahan mereka itu, yang perlahan menurunkan daya wibawanya.
Yasudahlah ya, itu kenyataan yang ada, yuk jadikan pelajaran bersama. Semoga Tuhan memampukan kita semua untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari mereka yang memaksa minta dihormati itu. Dewasa itu, bukan usia, tapi bagaimana pribadi tersebut bisa menyikapi amarahnya dengan anggun, swear it!
Semoga Bermanfaat :)
Selamat Membaca, Semoga Bermanfa'at , Bismillah..
Minggu, 15 Januari 2012
Minggu, 08 Januari 2012
Berani Climbing Di Sini?
Tanpa banyak komentar, buat kamu yang penggila olah raga panjat tebing harus cari waktu dan kesempatan mencoba di tempat-tempat berikut:
1. University of Enschede - Belanda
2.Alice in Wonderland- Jepang
Yang menakjubkan, Alice in Wonderland dibuat di dalam sebuah arena fitness yaitu ILLOIHA
3. Gutovka climbing wall, Chekoslowakia.
Kabarnya, dinding panjat tebing ini paling besar, karena lebarnya 80 meter.
4. Silo Climbing Wall, Belanda
5. Extreme Edge Climbing Wall - Selandia Baru
6. 500ft Climbing Wall - Swiss.
Sesuai namanya, mungkin ini dinding panjat tebing tertinggi di dunia. 500 feet atau 152,4 meter. Bandingkan dengan tinggi Monas yang hanya 137 meter. Dinding ini dibuat pada sebuah bendungan Luzzone.
7. Marymoor Park Climbing Wall - Washington, USA
8. Excalibur Climbing Wall - Groningen, Belanda
Tingginya hanya 37 meter. Namun, bentuknya yang eksotis disebut-sebut sebagai yang tertinggi di dunia. Pernyataan tersebut menjadi polemik bila dibandingkan dengan dinding panjat tebing di Swiss.
1. University of Enschede - Belanda
2.Alice in Wonderland- Jepang
Yang menakjubkan, Alice in Wonderland dibuat di dalam sebuah arena fitness yaitu ILLOIHA
3. Gutovka climbing wall, Chekoslowakia.
Kabarnya, dinding panjat tebing ini paling besar, karena lebarnya 80 meter.
4. Silo Climbing Wall, Belanda
5. Extreme Edge Climbing Wall - Selandia Baru
6. 500ft Climbing Wall - Swiss.
Sesuai namanya, mungkin ini dinding panjat tebing tertinggi di dunia. 500 feet atau 152,4 meter. Bandingkan dengan tinggi Monas yang hanya 137 meter. Dinding ini dibuat pada sebuah bendungan Luzzone.
7. Marymoor Park Climbing Wall - Washington, USA
8. Excalibur Climbing Wall - Groningen, Belanda
Tingginya hanya 37 meter. Namun, bentuknya yang eksotis disebut-sebut sebagai yang tertinggi di dunia. Pernyataan tersebut menjadi polemik bila dibandingkan dengan dinding panjat tebing di Swiss.
Mengapa Kita Butuh Mimpi Dalam Tidur?
Orang mengatakan waktu dapat menyembuhkan semua luka. Itu ternyata ada benarnya. Riset terbaru dari University of California, Berkeley, mengindikasikan bahwa lamanya waktu bermimpi ketika tidur dapat mengatasi penderitaan yang menyakitkan.
Peneliti UC Berkeley menemukan bahwa, selama fase mimpi dalam tidur, atau tidur rapid eye movement (REM), yaitu ketika bola mata bergerak cepat saat tidur, zat kimia stres dipadamkan dan otak memproses pengalaman emosional dan mengikis memori yang menyakitkan.
Temuan ini menawarkan sebuah penjelasan yang menarik soal mengapa orang yang menderita kelainan stres pasca-kejadian traumatis, seperti veteran perang, menemui kesulitan untuk pulih dari pengalaman yang membuatnya tertekan dan berulang kali dihantui mimpi buruk. Penelitian ini juga menawarkan jawaban mengapa kita bermimpi.
"Tahap mimpi tidur, berdasarkan komposisi neurokimianya yang unik, memberikan semacam terapi sepanjang malam, sejenis balsam menenangkan yang membuang semua hal yang tajam dari pengalaman emosional pada hari sebelumnya," kata Matthew Walker, dosen psikologi dan neuroscience di universitas itu yang terlibat dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Current Biology.
Bagi penderita stres pasca-peristiwa traumatis, terapi malam ini mungkin tidak bekerja secara efektif. "Sehingga ketika kilas balik, misalnya dipicu oleh ban mobil meletus, mereka mengalami kembali seluruh pengalaman mengerikan itu karena emosinya tidak disingkirkan dari memori dengan benar selama tidur," kata Walker.
Hasil studi ini menawarkan berbagai informasi tentang fungsi emosional tidur REM, yang biasanya mencakup 20 persen dari waktu tidur seorang manusia sehat.
Studi otak sebelumnya mengindikasikan bahwa pola tidur sehat itu tidak berjalan sebagaimana mestinya pada orang yang menderita kelainan seperti trauma dan depresi.
Sumber :
apakabardunia.com
Peneliti UC Berkeley menemukan bahwa, selama fase mimpi dalam tidur, atau tidur rapid eye movement (REM), yaitu ketika bola mata bergerak cepat saat tidur, zat kimia stres dipadamkan dan otak memproses pengalaman emosional dan mengikis memori yang menyakitkan.
Temuan ini menawarkan sebuah penjelasan yang menarik soal mengapa orang yang menderita kelainan stres pasca-kejadian traumatis, seperti veteran perang, menemui kesulitan untuk pulih dari pengalaman yang membuatnya tertekan dan berulang kali dihantui mimpi buruk. Penelitian ini juga menawarkan jawaban mengapa kita bermimpi.
"Tahap mimpi tidur, berdasarkan komposisi neurokimianya yang unik, memberikan semacam terapi sepanjang malam, sejenis balsam menenangkan yang membuang semua hal yang tajam dari pengalaman emosional pada hari sebelumnya," kata Matthew Walker, dosen psikologi dan neuroscience di universitas itu yang terlibat dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Current Biology.
Bagi penderita stres pasca-peristiwa traumatis, terapi malam ini mungkin tidak bekerja secara efektif. "Sehingga ketika kilas balik, misalnya dipicu oleh ban mobil meletus, mereka mengalami kembali seluruh pengalaman mengerikan itu karena emosinya tidak disingkirkan dari memori dengan benar selama tidur," kata Walker.
Hasil studi ini menawarkan berbagai informasi tentang fungsi emosional tidur REM, yang biasanya mencakup 20 persen dari waktu tidur seorang manusia sehat.
Studi otak sebelumnya mengindikasikan bahwa pola tidur sehat itu tidak berjalan sebagaimana mestinya pada orang yang menderita kelainan seperti trauma dan depresi.
Sumber :
apakabardunia.com
BAGAIMANA MEREKA MENDIDIK KAMI (Tulisan seorang Anak Kader, 'Anonim')
Saya bingung ingin memulai kisah ini dari mana ketika seseorang yang saya hormati meminta saya menuliskan tentang bagaimana orangtua saya mendidik saya—atau lebihnya tepatnya “kami”, saya dan adik-adik saya. Kedua orangtua saya, adalah orang yang betul-betul sederhana. Dan karena saking sederhananya itulah saya merasa bingung apa yang mesti saya tulis di sini.
Mereka bukan siapa-siapa di jagat raya ini. Mereka orang biasa, yang bila berada di antara kerumunan orang tak akan menjadi pusat perhatian. Tapi berbeda jika mereka sudah berada di rumah. Mereka seperti matahari, yang menjadi pusat perputaran planet-planet dalam gugusan bima sakti. Dan kamilah planet-planet itu.
***
Sebelum saya dipindahkan ke SDIT pada kelas 2 SD, saya bersekolah di SD Islam As Salafy. Namanya saja ada embel-embel “Islam”. Tapi nilai-nilai yang ditanamkan, layaknya di sekolah biasa. Nilai-nilai kebaikan standar. Malah, aneh betul kayaknya tiap orangtua murid dan guru memperhatikan saya lantaran saya memakai jilbab dan seragam sekolah yang lebih panjang dari yang lain. Seolah-olah ada yang salah dengan saya.
Ya, saya memang berbeda di antara sekian ratus siswa di sekolah itu. Mata murid-murid melirik, bertanya-tanya; kenapa pakai jilbab ke sekolah? Bukankah pakai jilbab kalau kita ke TPA saja? Apalagi kalau Ummi datang ke sekolah. Wah mencuri perhatian betul itu. Karena Ummi memakai gamis dan jilbab lebar lengkap pula pakai kaus kaki walaupun alas kaki yang digunakan cuma sandal jepit swallow. Kalau Ummi menambah pakaiannya dengan cadar, mungkin mata-mata itu bukan menatap atau melirik lagi. Tapi melotot. Sebaliknya, guru yang pakai jilbab dengan rok sepan sedengkul tidak dianggap aneh.
Mungkin itu perasaan ‘berbeda’ yang saya rasakan pertama kali dengan amat jelas. Pada kenyataannya memang keluarga kami berbeda dengan para tetangga. Tapi jangan salah, berbeda bukan berarti lantas kami menutup diri. Walau Ummi adalah orang yang tidak banyak omong, tapi Ummi ramah pada tetangga. Para tetangga menganggap keluarga kami mungkin keluarga santri atau setidaknya paham agama. Sehingga para orangtua mengirim anak-anaknya ke rumah kami untuk belajar mengaji.
Saya lupa bagaimana dulu orangtua saya menjelaskan pada saya dan adik-adik yang perempuan tentang jilbab. Seingat saya, kelas 1 SD itu saya sudah rutin memakai jilbab kalau keluar rumah. Walaupun baju yang saya kenakan tidak menutup seluruh aurat. Saya kecil kerap memakai baju tidur sedengkul-lengan-pendek, tapi berjilbab, berlari-larian main petak jongkok dengan anak-anak sebaya. Yang saya ingat dulu, Abi seringkali berteriak meledek saya kalau kedapatan saya tidak mengenakan jilbab. Ia memanggil saya begini; “Hei, Ahmad!”
Sebagai anak perempuan kecil, saya ogah diasosiasikan sebagai lelaki.
***
Di rumah kami ada barang yang baru kami punyai ketika saya SMP, yaitu televisi. Sebelumnya, kami tak mengenal baik benda itu. Pernah punya tivi, tapi tidak lama karena tivi yang kami punya masih hitam putih, tivi tahun 60-an dengan gambar yang kruwek-kruwek. Bentuknya juga antik, udah ga jaman banget di tahun 90-an itu; kotak kayu, dengan tombol-tombol untuk pindah channelnya di sisi kanan. Kacanya pun cembung bukan main. Tivi ini juga cuma bisa menangkap dua stasiun; TVRI dan TPI. Yah, mana ada yang mau berlama-lama menonton dengan tivi butut—sementara pada saat itu sudah eranya tivi berwarna dan ber-remote control?
Entah apa memang orangtua kami asli tidak mampu membeli tivi baru atau memang mereka punya prinsip sendiri soal tivi. Tapi yang jelas, tak mudah meminta tivi baru. Jangankan itu, meminta dibelikan mainan baru atau sesuatu yang sedang ngetrend saat itu di dunia anak-anak pun, kami mesti susah-susah mengajukan ‘proposal’ (berupa rengekan yang bisa berujung pada tangisan) apa manfaat barang itu bagi kami.
Ketika lagi trend koleksi kertas surat, hampir seluruh teman sekelas saya yang perempuan punya itu. Begitu juga teman sekelas adik saya. Demam kertas surat melanda satu sekolah (saat itu saya sudah sekolah di SDIT IQRO’). Rasanya, saya saja di kelas yang tidak punya koleksi semacam itu. Saya cuma menonton bagaimana teman-teman saya mengatur kertas-kertas surat nan wangi itu, mengeluarkannya dari map, menjejerkannya di meja, menumpuknya dengan rapi, memasukkannya lagi ke map, lalu mengulang ritme yang sama setiap ada kesempatan sembari bercerita ini beli di mana atau menukar dengan siapa.
Begitu juga saat demam stiker tokoh-tokoh kartun. Saya menjadi penonton. Atau ketika demam koleksi kertas file bergambar. Saya pun tidak punya itu. Atau (lagi) ketika demam pulpen gantung bak wartawan yang tintanya wangi, saya juga tidak punya itu. Saya berbeda. Dan kala itu, perasaan berbeda bukan lagi perasaan pertama, tapi ke sekian kalinya.
Ingin juga sih punya itu semua. Yah saya kan anak kecil biasa yang suka iri melihat milik teman. Tapi meminta pada orangtua itu semua, butuh energi untuk menjelaskan; sebenarnya untuk apa barang-barang itu? Dan orangtua kami, menanyakan hal tersebut bukan untuk basa-basi. Kalau memang kami tidak bisa menjelaskan alasan kenapa kami ingin barang-barang tertentu, mereka tidak akan memberikannya. Mau sampai nangis guling-guling di tanah pun, orangtua kami tidak akan mencabut kata-katanya. Belakangan, saya tahu sebenarnya hati Ummi sakit melihat anaknya meminta sesuatu sampai menangis apalagi sampai guling-guling di lantai. Tapi memang harus ada sakit yang tertanggung untuk sebuah kebaikan.
Ummi ataupun Abi tidak menurunkan posisi tawar demi melihat kami ngamuk sampai guling-guling. Mereka tidak lantas bilang: “Ya deh, ya deh… Abi belikan nanti…” Bagi mereka, kami tidak boleh belajar ‘menangis untuk mendapatkan sesuatu’.
Ketika sudah tenang dari isak tangis dan amukan, barulah ada kata-kata yang mampu meluluhkan hati.
“Bukannya ga boleh punya kertas file. Boleh-boleh aja, tapi kan tadi Ummi nanya; buat apa? Kalo cuma untuk dikoleksi, apa nggak buang-buang uang? Padahal kamu tuh butuh barang lain yang lebih penting. Coba aja liat besok. Pasti besok temen-temen kamu udah bosen sama kertas file. Ganti lagi koleksi yang lain. Dulu juga begitu kan? Semuaaaa punya kertas surat. Tapi lama-lama temen-temen kamu bosen sama kertas surat. Terus ganti sekarang ganti kertas file. Terus dikemanain kertas suratnya? Jadi bungkus cabe? Apa disimpen aja? Apa iya kertas suratnya dipake buat kirim surat ke temen?”
“Tapi kan semua temen punya, masa aku ga punya…”
“Udah, santai aja. Ga ditangkep polisi kok kalo ga punya kertas file…”
Saya yakin, orangtua saya tidak paham teori gelombang otak yang katanya, kalau ingin mendoktrin anak itu paling baik saat otak berada dalam keadaan tenang antara sadar dan tidak. Tapi memang, orangtua saya biasanya mendiamkan dan tidak memberikan wejangan apa-apa saat kami-kami ini mengamuk. Nasehat baru keluar ketika sudah capek menangis dan guling-guling, sementara otak mengirim sinyal ke mata agar mengantuk.
Rasanya, orangtua saya juga tidak berkata; “Nanti kalau Abi ada rezeki, Abi belikan ya kertas suratnya…”
Logis sih, karena bisa jadi ketika Abi ada rezeki, barang yang saya mau (misalnya kertas surat wangi dan bergambar indah itu) sudah tidak ngetrend lagi untuk dijadikan koleksi. Punya tapi telat, kan rasanya ketinggalan jaman banget. Dan memang trend itu begitu. Berubah dengan cepat seiring cuaca.
Ketika Abi ada rezeki, yang Abi belikan pada kami adalah buku. Macam-macam buku dan majalah. Kami juga berlangganan majalah anak-anak Aku Anak Saleh dan Orbit, di samping berlangganan koran Republika. Kami punya setumpuk koleksi kisah nabi-nabi terbitan Rosda Karya yang nama belakang penulisnya saya ingat “Pamungkas”. Saya ingat nama belakangnya saja, karena dulu saya pernah bertanya pada Ummi: “Pamungkas itu artinya apa, Mi?” Ummi jawab: “Terakhir”. Saya ngomong lagi: “Berarti dia anak terakhir dong, Mi?” Ummi jawab: “Iya. Bisa jadi…”. Itu sekedar intermezzo.
Jadi rasanya aneh kalau bilang orangtua saya pelit karena anaknya tidak dibelikan ini-itu yang dimau. Karena memang orangtua saya tidak pelit kalau sudah menyangkut hal-hal-yang-memang-kami-butuhkan-bukan-sekedar-keinginan. Saya ingat, Ummi bahkan pernah menjual cincin satu-satunya agar saya dan Rusyda (adik saya) bisa ikut acara kemah dari sekolah. Acaranya selama tiga hari dan banyak perlengkapan yang harus dibawa. Di saat yang bersamaan, Ummi dan Abi tidak punya cukup uang untuk biaya kemah tersebut. Maka Ummi pergi pagi-pagi ke Pasar Pondok Gede, menjual satu-satunya cincin miliknya yag polos tanpa ukiran dan permata sebagai hiasan, dan pulang ke rumah membawa pula barang-barang yang kiranya kam perlukan selama kemah.
Saya tahu kemudian Ummi menjual cincinnya untuk kami, ketika saya dapati pulang dari pasar Ummi tidak memakai cincin itu lagi. Padahal, cincin itu adalah ciri khasnya. Selalu ada di jari manis kanannya. Sehingga janggal sekali bila mendapati Ummi tanpa cincin emas polos itu.
Peristiwa sederhana ini yang kemudian selalu ingatkan saya; bahwa orangtua kami yang sederhana ini, sebetulnya kaya. Mereka punya banyak stok kesabaran untuk mendidik kami secara konsisten. Mereka punya banyak stok keikhlasan untuk tidak mengungkit apa yang telah mereka lakukan. Mereka punya banyak stok harapan untuk melihat kami menjadi ‘seseorang’ bukan ‘seonggok’.
Hikmah besar di balik ‘kepelitan’ mereka untuk tidak selalu memberikan apa saja yang kami minta; kami belajar menghargai apa saja yang mereka berikan. Kami masih menyimpan boneka yang Ummi belikan ketika kami masih kecil. Jarang-jarang kan Ummi belikan kami boneka? Jadi begitu Ummi memberikan boneka pada kami, boneka itu kami jaga baik-baik. Kami pajang di lemari. Begitu juga buku-buku dari masa kecil kami. Belakangan, kami sumbangkan buku-buku itu untuk taman bacaan dekat rumah.
Bukan hanya pemberian berupa barang, tapi juga momen-momen bepergian yang jarang kami lakukan. Sekalinya kami pergi bersama, walau itu hanya makan bersama di warung tenda pinggir jalan, kami benar-benar menikmatinya dan mengabadikannya dengan cara kami. Yang rajin menulis buku harian, menulis di buku hariannya. Yang senang menggambar, menggambarkan apa saja yang dilihatnya selama pergi bersama.
Coba kalau orangtua kami ‘murah hati’. Kami nangis sedikit, maka datanglah apa yang kami minta. Bisa jadi lambat-laun kami tidak menghargai apa-apa yang orangtua kami berikan karena saking seringnya menerima pemberian dari orangtua kami. Alih-alih berterimakasih, mungkin kami akan protes; “lho kok yang begini? Kan aku minta yang begitu!”. Dengan selektifnya orang tua kami dalam memberikan sesuatu, secara tak langsung kami belajar bagaimana harus berterimakasih dan menghargai pemberian orang lain.
Selain itu, ke-konsisten-an mereka untuk menolak membelikan sesuatu yang manfaatnya kecil, membuat kami belajar setiap kali ada benda yang kami inginkan. Kami belajar menganalisis sendiri, apakah benda itu kemudian layak kami miliki? Kalau tidak, sudahlah lupakan benda itu.
Lalu, adakah kemudian di saat dewasa dan punya penghasilan sendiri, saya dendam untuk memiliki benda-benda yang tak sempat saya miliki di waktu kecil? Untungnya tidak. Sebabnya karena itu tadi, kami senantiasa diajak menganalisis; apakah benda yang saya inginkan ini bermanfaat? Bahkan sampai sekarang, kalau saya punya uang sendiri dan mau beli sesuatu, Ummi pasti menodong dengan pertanyaan; buat apa?
Pernah juga terbersit; Kok Ummi gitu sih? Selalu tanya buat apa. Ini kan uangku sendiri!
Tapi entah bagaimana, ujung-ujungnya saya berpikir ulang; apa manfaat benda itu untuk saya? Dan urung untuk membeli benda tidak penting itu. Mungkin karena saking kuatnya doa Ummi, sampai-sampai saya selalu tidak bisa membantah apa kata Ummi. Walau awalnya membantah, selalu saja berakhir dengan gumaman pada diri sendiri; iya ya, bener juga.
***
Karena kami keluarga sederhana, imbasnya bukan saja susah kalau mau meminta sesuatu. Tapi juga berimbas dari desain rumah kami yang sederhana. Ruangan yang disekat hanya kamar tidur dan kamar mandi. Ruang tamu, ruang tengah, ruang makan menyatu tanpa sekat. Tidak ada lantai dua. Kamar pun hanya tiga; kamar orangtua, kamar anak perempuan, dan kamar anak laki-laki. Tagline untuk rumah kami; ke kanan nyenggol, ke kiri nyenggol.
Hikmahnya punya rumah dengan desain nge-blong begini adalah adanya kontrol yang maksimal di antara anggota keluarga. Kalau ada satu anak yang lagi suram, seisi rumah akan segera tahu karena pas sembunyi di kamar, eh saudara yang lain masuk kamar (yang memang nggak ada kuncinya) terus melihat saudaranya yang satu ini lagi menangis. Melaporlah si saudara yang lain ini pada Ummi; “Mi, Kak Anu nangis di kamar…” Nanti kata Ummi; “Husss… udah diemin dulu…”
Walaupun begitu, Ummi dan Abi menghargai privasi kami. Mereka tidak pernah membuka-buka laci kami tanpa keperluan. Mereka percaya sekali, bahwa satu sama lain di antara kami akan saling mengingatkan kalau misalnya ada suatu barang yang bermasalah. Kan kalau barang itu disembunyikan, artinya barang itu bermasalah. Misalnya saja saya menyembunyikan coklat. Tidak perlu menunggu besok, adik saya yang lain sudah akan menemukannya di hari yang sama. Dan coklat itu memang barang yang bermasalah karena tidak dibagi.
Masih soal kontrol di antara anggota keluarga, semua ruangan yang bermuara di ruang tengah ini juga membawa keuntungan tersendiri bagi Ummi dan Abi. Mereka jadi mudah mengontrol aktivitas kami. Cukup duduk di ruang tengah, maka akan terlihat si Asiah lagi apa, Rufaida lagi apa, Hania lagi apa, dan yang lainnya. Selain itu, juga jadi mudah melihat siapa yang sudah sesore ini belum pulang ke rumah.
Sosialisasi pun tak perlu membuang energi banyak. Misalnya, merutinkan mengaji setiap habis maghrib. Tak perlu menggedor setiap pintu kamar sambil bilang: “hoi, ngaji!”. Sekali lagi, duduklah Ummi di ruang tengah sambil bilang; “ayo, ayo ngaji…” kemudian Ummi dan Abi mengaji di ruang tengah. Yang tadinya urung mengaji, jadi malu sendiri karena seisi rumah mengaji. Begitu juga kebiasaan berdiskusi di rumah kami. Ummi dan Abi jarang berdiskusi hanya berdua di kamar—kecuali kalau hal yang mereka diskusikan bukan menjadi urusan kami. Mereka terbiasa membaca buku, menghafal Qur’an, hadits, juga berdiskusi—dari soal agama, politik, sosial, sampai ekonomi—di ruang tengah. Mau tak mau, kami jadi ikut mendengar dan terbiasa dengan iklim itu.
Abi dan Ummi juga biasa menceritakan apa yang mereka alami hari itu kepada kami semua. Walau mungkin sebenarnya menceritakannya hanya kepada Abi atau Ummi. Tapi apa mau dikata, mereka bercerita di ruang tengah. Kami juga jadi ikut-ikut dengar, lalu nimbrung, lalu ikut-ikutan bercerita. Lama-lama kami pun biasa saling bertukar pengalaman di ruang tengah. Entah sambil makan, atau sambil belajar.
Orangtua kami tidak memaksakan terbangunnya suasana akrab. Mereka tidak memaksa diri mereka untuk nyambung dengan dunia kami. Suasana akrab itu terbangun karena kebiasaan yang sudah lama dibiasakan sejak kami masih kecil; saling terbuka dan bercerita. Rasanya kok aneh saja kalau tidak cerita ke Ummi. Sehingga keresahan-keresahan yang kami rasakan—terlebih yang berhubungan dengan identitas kami sebagai muslim/ah yang mencoba ber-Islam secara kaffah—akan tercetus begitu saja, tanpa perlu ragu menceritakannya pada orangtua.
***
Kalau memutar kembali memori, sepertinya orangtua kami tidak terlalu repot menjebloskan kami untuk aktif dalam tarbiyah. Pemahaman kami akan pentingnya tarbiyah, tidak dipupuk dalam sehari langsung jadi. Di rumah sederhana kami, permasalahan ummat menjadi tema diskusi asyik. Dari diskusi ke diskusi, kesadaran kami akan pentingnya tarbiyah menjadi tumbuh sendiri. Pada awalnya malas datang ke tempat liqo. Kan bisa belajar aja sama Ummi, bantah kami. Tapi Ummi bilang, di rumah belajar juga, di luar belajar lebih banyak lagi. Tidak tanggung-tanggung, saya dan Milla sempat merasakan bagaimana Abi benar-benar amat memaksa kami sampai-sampai kami diantar ke tempat liqo, dan ditunggui pula sampai liqo selesai.
Kesannya, Abi kok kayak ga punya kerjaan lain aja selain nganterin anak liqo dan nungguin. Tapi pemaksaan serupa itu, membuat kami mencerna sendiri; berarti liqo itu emang penting banget ya, sampe-sampe Abi mau nganter dan nungguin aku…
Kami juga tidak lepas dari badai keinginan ingin pakai celana panjang dan jilbab agak naik sedikit. Keresahan itu kami ungkapkan pada Ummi; “kok si Anu pakai bajunya begitu, Mi. Aku boleh ga pakai baju kayak dia? Abis kemaren aku ke sekolah pakai rok dibilangnya kayak ibu-ibu…”
Nah lho… kalo saya jadi Ummi, saya bingung juga mau nasehatin kayak apa.
Ummi pada awalnya membolehkan kami memakai celana panjang asal longgar. Jilbab juga yang penting menutup dada, tidak perlu sampai lewat pinggang. Tapi kok ya baju yang dibelikan Ummi pada kami lagi-lagi rok. Ya apa boleh buat. Toh roknya juga not bad kok. Dan Ummi sekali waktu bilang: “perempuan itu lebih anggun tau kalo pake rok…” agak membesarkan hati sedikit. Tapi kemudian di sekolah, dikomentarin teman lagi: “Perasaan lo pake rok terus deh, sekali-kali dong pake celana panjang… gue pengen deh liat penampilan lo pake celana panjang…”
Komentar teman seperti di atas selalu bikin ciut. Untung kami punya Ummi. Lagi-lagi lapor ke Ummi, teman komentar begini, begitu. Ummi akan bilang: “ga usah didengar… Mereka memang selalu berkomentar. Orang itu kalau mau jadi lebih baik memang cobaannya banyak. Kalau kamu ciut hanya karena komentar begitu, sekarang bayangin jaman dulu waktu jilbab belum zamannya, perempuan yang pakai jilbab dijauhi orang, disangka aliran sesat, bahkan ada yang diusir dari rumah… Padahal perintah pakai jilbab itu ada di Al Qur’an, tapi malah dihina…”
Cerita-cerita itu membuat kami merasa tidak sendiri. Lagipula, kami biasa berbeda. Kami tidak tinggal di tengah-tengah keluarga tarbiyah yang lain. Kami tinggal di kampung yang tingkat pendidikan masyarakatnya rendah sampai-sampai anak kecil diajarkan buang air di kebun-kebun. Sampai-sampai pula, keluarga kami dicap orang Muhammadiyah yang kalo mens pun perempuan tetap sholat, dan kalau ada yang meninggal tidak disholatkan. What? Kayaknya orang Muhammadiyah ga gitu deh…
Jadi, menjadi berbeda di sekolah atau di antara teman sepermainan, adalah menambah sedikit daftar perbedaan kami. Orangtua selalu membesarkan hati kami lewat cerita dan diskusi. Bahwa menjadi berbeda itu sama sekali tidak buruk. Untungnya, nasehat ini tidak serta merta muncul ketika kami puber, di mana kami sudah kenal ‘dunia luar’. Mungkin karena Ummi saya tidak sibuk, dan Abi juga tidak sibuk dalam pekerjaan, jadi kami tidak mengalami missing age di mana ada kalanya kami jauh dari Ummi dan Abi. Mereka benar-benar orang terdekat kami dan teman sejati kami; orang-orang pertama yang kami hampiri ketika ada keresahan dan pertanyaan. Dan saya yakin betul, kedekatan ini tidak dibangun dalam hitungan hari, tapi hitungan tahun; sejak saya masih kecil, hingga kini umur saya menginjak 24 tahun.
***
Tidak ada hal khusus yang diterapkan orangtua kami untuk mendidik kami. Tidak ada buku parenting bertumpuk-tumpuk. Mereka tidak hapal teori psikologi pendidikan. Bahkan mungkin tidak tahu juga ada teori itu. Mereka juga tidak rajin ikut seminar-seminar parenting. Mereka terlampau sederhana untuk itu semua. Mereka mendidik kami dengan ilmu yang mereka punya ditambah dua hal saja: kontinyu dan konsisten. Kontinyu dalam hal mengingatkan, menasehati, dan mencontohkan. Konsisten dalam hal sekali bilang tidak maka tidak; tidak ada prinsip yang berubah.
Seperti matahari pada gugusan bima sakti, mereka terus menyinari, terus menjadi pusat kehidupan kami, tak bosan, tak lelah.
*Murni Hasil Copas
Mereka bukan siapa-siapa di jagat raya ini. Mereka orang biasa, yang bila berada di antara kerumunan orang tak akan menjadi pusat perhatian. Tapi berbeda jika mereka sudah berada di rumah. Mereka seperti matahari, yang menjadi pusat perputaran planet-planet dalam gugusan bima sakti. Dan kamilah planet-planet itu.
***
Sebelum saya dipindahkan ke SDIT pada kelas 2 SD, saya bersekolah di SD Islam As Salafy. Namanya saja ada embel-embel “Islam”. Tapi nilai-nilai yang ditanamkan, layaknya di sekolah biasa. Nilai-nilai kebaikan standar. Malah, aneh betul kayaknya tiap orangtua murid dan guru memperhatikan saya lantaran saya memakai jilbab dan seragam sekolah yang lebih panjang dari yang lain. Seolah-olah ada yang salah dengan saya.
Ya, saya memang berbeda di antara sekian ratus siswa di sekolah itu. Mata murid-murid melirik, bertanya-tanya; kenapa pakai jilbab ke sekolah? Bukankah pakai jilbab kalau kita ke TPA saja? Apalagi kalau Ummi datang ke sekolah. Wah mencuri perhatian betul itu. Karena Ummi memakai gamis dan jilbab lebar lengkap pula pakai kaus kaki walaupun alas kaki yang digunakan cuma sandal jepit swallow. Kalau Ummi menambah pakaiannya dengan cadar, mungkin mata-mata itu bukan menatap atau melirik lagi. Tapi melotot. Sebaliknya, guru yang pakai jilbab dengan rok sepan sedengkul tidak dianggap aneh.
Mungkin itu perasaan ‘berbeda’ yang saya rasakan pertama kali dengan amat jelas. Pada kenyataannya memang keluarga kami berbeda dengan para tetangga. Tapi jangan salah, berbeda bukan berarti lantas kami menutup diri. Walau Ummi adalah orang yang tidak banyak omong, tapi Ummi ramah pada tetangga. Para tetangga menganggap keluarga kami mungkin keluarga santri atau setidaknya paham agama. Sehingga para orangtua mengirim anak-anaknya ke rumah kami untuk belajar mengaji.
Saya lupa bagaimana dulu orangtua saya menjelaskan pada saya dan adik-adik yang perempuan tentang jilbab. Seingat saya, kelas 1 SD itu saya sudah rutin memakai jilbab kalau keluar rumah. Walaupun baju yang saya kenakan tidak menutup seluruh aurat. Saya kecil kerap memakai baju tidur sedengkul-lengan-pendek, tapi berjilbab, berlari-larian main petak jongkok dengan anak-anak sebaya. Yang saya ingat dulu, Abi seringkali berteriak meledek saya kalau kedapatan saya tidak mengenakan jilbab. Ia memanggil saya begini; “Hei, Ahmad!”
Sebagai anak perempuan kecil, saya ogah diasosiasikan sebagai lelaki.
***
Di rumah kami ada barang yang baru kami punyai ketika saya SMP, yaitu televisi. Sebelumnya, kami tak mengenal baik benda itu. Pernah punya tivi, tapi tidak lama karena tivi yang kami punya masih hitam putih, tivi tahun 60-an dengan gambar yang kruwek-kruwek. Bentuknya juga antik, udah ga jaman banget di tahun 90-an itu; kotak kayu, dengan tombol-tombol untuk pindah channelnya di sisi kanan. Kacanya pun cembung bukan main. Tivi ini juga cuma bisa menangkap dua stasiun; TVRI dan TPI. Yah, mana ada yang mau berlama-lama menonton dengan tivi butut—sementara pada saat itu sudah eranya tivi berwarna dan ber-remote control?
Entah apa memang orangtua kami asli tidak mampu membeli tivi baru atau memang mereka punya prinsip sendiri soal tivi. Tapi yang jelas, tak mudah meminta tivi baru. Jangankan itu, meminta dibelikan mainan baru atau sesuatu yang sedang ngetrend saat itu di dunia anak-anak pun, kami mesti susah-susah mengajukan ‘proposal’ (berupa rengekan yang bisa berujung pada tangisan) apa manfaat barang itu bagi kami.
Ketika lagi trend koleksi kertas surat, hampir seluruh teman sekelas saya yang perempuan punya itu. Begitu juga teman sekelas adik saya. Demam kertas surat melanda satu sekolah (saat itu saya sudah sekolah di SDIT IQRO’). Rasanya, saya saja di kelas yang tidak punya koleksi semacam itu. Saya cuma menonton bagaimana teman-teman saya mengatur kertas-kertas surat nan wangi itu, mengeluarkannya dari map, menjejerkannya di meja, menumpuknya dengan rapi, memasukkannya lagi ke map, lalu mengulang ritme yang sama setiap ada kesempatan sembari bercerita ini beli di mana atau menukar dengan siapa.
Begitu juga saat demam stiker tokoh-tokoh kartun. Saya menjadi penonton. Atau ketika demam koleksi kertas file bergambar. Saya pun tidak punya itu. Atau (lagi) ketika demam pulpen gantung bak wartawan yang tintanya wangi, saya juga tidak punya itu. Saya berbeda. Dan kala itu, perasaan berbeda bukan lagi perasaan pertama, tapi ke sekian kalinya.
Ingin juga sih punya itu semua. Yah saya kan anak kecil biasa yang suka iri melihat milik teman. Tapi meminta pada orangtua itu semua, butuh energi untuk menjelaskan; sebenarnya untuk apa barang-barang itu? Dan orangtua kami, menanyakan hal tersebut bukan untuk basa-basi. Kalau memang kami tidak bisa menjelaskan alasan kenapa kami ingin barang-barang tertentu, mereka tidak akan memberikannya. Mau sampai nangis guling-guling di tanah pun, orangtua kami tidak akan mencabut kata-katanya. Belakangan, saya tahu sebenarnya hati Ummi sakit melihat anaknya meminta sesuatu sampai menangis apalagi sampai guling-guling di lantai. Tapi memang harus ada sakit yang tertanggung untuk sebuah kebaikan.
Ummi ataupun Abi tidak menurunkan posisi tawar demi melihat kami ngamuk sampai guling-guling. Mereka tidak lantas bilang: “Ya deh, ya deh… Abi belikan nanti…” Bagi mereka, kami tidak boleh belajar ‘menangis untuk mendapatkan sesuatu’.
Ketika sudah tenang dari isak tangis dan amukan, barulah ada kata-kata yang mampu meluluhkan hati.
“Bukannya ga boleh punya kertas file. Boleh-boleh aja, tapi kan tadi Ummi nanya; buat apa? Kalo cuma untuk dikoleksi, apa nggak buang-buang uang? Padahal kamu tuh butuh barang lain yang lebih penting. Coba aja liat besok. Pasti besok temen-temen kamu udah bosen sama kertas file. Ganti lagi koleksi yang lain. Dulu juga begitu kan? Semuaaaa punya kertas surat. Tapi lama-lama temen-temen kamu bosen sama kertas surat. Terus ganti sekarang ganti kertas file. Terus dikemanain kertas suratnya? Jadi bungkus cabe? Apa disimpen aja? Apa iya kertas suratnya dipake buat kirim surat ke temen?”
“Tapi kan semua temen punya, masa aku ga punya…”
“Udah, santai aja. Ga ditangkep polisi kok kalo ga punya kertas file…”
Saya yakin, orangtua saya tidak paham teori gelombang otak yang katanya, kalau ingin mendoktrin anak itu paling baik saat otak berada dalam keadaan tenang antara sadar dan tidak. Tapi memang, orangtua saya biasanya mendiamkan dan tidak memberikan wejangan apa-apa saat kami-kami ini mengamuk. Nasehat baru keluar ketika sudah capek menangis dan guling-guling, sementara otak mengirim sinyal ke mata agar mengantuk.
Rasanya, orangtua saya juga tidak berkata; “Nanti kalau Abi ada rezeki, Abi belikan ya kertas suratnya…”
Logis sih, karena bisa jadi ketika Abi ada rezeki, barang yang saya mau (misalnya kertas surat wangi dan bergambar indah itu) sudah tidak ngetrend lagi untuk dijadikan koleksi. Punya tapi telat, kan rasanya ketinggalan jaman banget. Dan memang trend itu begitu. Berubah dengan cepat seiring cuaca.
Ketika Abi ada rezeki, yang Abi belikan pada kami adalah buku. Macam-macam buku dan majalah. Kami juga berlangganan majalah anak-anak Aku Anak Saleh dan Orbit, di samping berlangganan koran Republika. Kami punya setumpuk koleksi kisah nabi-nabi terbitan Rosda Karya yang nama belakang penulisnya saya ingat “Pamungkas”. Saya ingat nama belakangnya saja, karena dulu saya pernah bertanya pada Ummi: “Pamungkas itu artinya apa, Mi?” Ummi jawab: “Terakhir”. Saya ngomong lagi: “Berarti dia anak terakhir dong, Mi?” Ummi jawab: “Iya. Bisa jadi…”. Itu sekedar intermezzo.
Jadi rasanya aneh kalau bilang orangtua saya pelit karena anaknya tidak dibelikan ini-itu yang dimau. Karena memang orangtua saya tidak pelit kalau sudah menyangkut hal-hal-yang-memang-kami-butuhkan-bukan-sekedar-keinginan. Saya ingat, Ummi bahkan pernah menjual cincin satu-satunya agar saya dan Rusyda (adik saya) bisa ikut acara kemah dari sekolah. Acaranya selama tiga hari dan banyak perlengkapan yang harus dibawa. Di saat yang bersamaan, Ummi dan Abi tidak punya cukup uang untuk biaya kemah tersebut. Maka Ummi pergi pagi-pagi ke Pasar Pondok Gede, menjual satu-satunya cincin miliknya yag polos tanpa ukiran dan permata sebagai hiasan, dan pulang ke rumah membawa pula barang-barang yang kiranya kam perlukan selama kemah.
Saya tahu kemudian Ummi menjual cincinnya untuk kami, ketika saya dapati pulang dari pasar Ummi tidak memakai cincin itu lagi. Padahal, cincin itu adalah ciri khasnya. Selalu ada di jari manis kanannya. Sehingga janggal sekali bila mendapati Ummi tanpa cincin emas polos itu.
Peristiwa sederhana ini yang kemudian selalu ingatkan saya; bahwa orangtua kami yang sederhana ini, sebetulnya kaya. Mereka punya banyak stok kesabaran untuk mendidik kami secara konsisten. Mereka punya banyak stok keikhlasan untuk tidak mengungkit apa yang telah mereka lakukan. Mereka punya banyak stok harapan untuk melihat kami menjadi ‘seseorang’ bukan ‘seonggok’.
Hikmah besar di balik ‘kepelitan’ mereka untuk tidak selalu memberikan apa saja yang kami minta; kami belajar menghargai apa saja yang mereka berikan. Kami masih menyimpan boneka yang Ummi belikan ketika kami masih kecil. Jarang-jarang kan Ummi belikan kami boneka? Jadi begitu Ummi memberikan boneka pada kami, boneka itu kami jaga baik-baik. Kami pajang di lemari. Begitu juga buku-buku dari masa kecil kami. Belakangan, kami sumbangkan buku-buku itu untuk taman bacaan dekat rumah.
Bukan hanya pemberian berupa barang, tapi juga momen-momen bepergian yang jarang kami lakukan. Sekalinya kami pergi bersama, walau itu hanya makan bersama di warung tenda pinggir jalan, kami benar-benar menikmatinya dan mengabadikannya dengan cara kami. Yang rajin menulis buku harian, menulis di buku hariannya. Yang senang menggambar, menggambarkan apa saja yang dilihatnya selama pergi bersama.
Coba kalau orangtua kami ‘murah hati’. Kami nangis sedikit, maka datanglah apa yang kami minta. Bisa jadi lambat-laun kami tidak menghargai apa-apa yang orangtua kami berikan karena saking seringnya menerima pemberian dari orangtua kami. Alih-alih berterimakasih, mungkin kami akan protes; “lho kok yang begini? Kan aku minta yang begitu!”. Dengan selektifnya orang tua kami dalam memberikan sesuatu, secara tak langsung kami belajar bagaimana harus berterimakasih dan menghargai pemberian orang lain.
Selain itu, ke-konsisten-an mereka untuk menolak membelikan sesuatu yang manfaatnya kecil, membuat kami belajar setiap kali ada benda yang kami inginkan. Kami belajar menganalisis sendiri, apakah benda itu kemudian layak kami miliki? Kalau tidak, sudahlah lupakan benda itu.
Lalu, adakah kemudian di saat dewasa dan punya penghasilan sendiri, saya dendam untuk memiliki benda-benda yang tak sempat saya miliki di waktu kecil? Untungnya tidak. Sebabnya karena itu tadi, kami senantiasa diajak menganalisis; apakah benda yang saya inginkan ini bermanfaat? Bahkan sampai sekarang, kalau saya punya uang sendiri dan mau beli sesuatu, Ummi pasti menodong dengan pertanyaan; buat apa?
Pernah juga terbersit; Kok Ummi gitu sih? Selalu tanya buat apa. Ini kan uangku sendiri!
Tapi entah bagaimana, ujung-ujungnya saya berpikir ulang; apa manfaat benda itu untuk saya? Dan urung untuk membeli benda tidak penting itu. Mungkin karena saking kuatnya doa Ummi, sampai-sampai saya selalu tidak bisa membantah apa kata Ummi. Walau awalnya membantah, selalu saja berakhir dengan gumaman pada diri sendiri; iya ya, bener juga.
***
Karena kami keluarga sederhana, imbasnya bukan saja susah kalau mau meminta sesuatu. Tapi juga berimbas dari desain rumah kami yang sederhana. Ruangan yang disekat hanya kamar tidur dan kamar mandi. Ruang tamu, ruang tengah, ruang makan menyatu tanpa sekat. Tidak ada lantai dua. Kamar pun hanya tiga; kamar orangtua, kamar anak perempuan, dan kamar anak laki-laki. Tagline untuk rumah kami; ke kanan nyenggol, ke kiri nyenggol.
Hikmahnya punya rumah dengan desain nge-blong begini adalah adanya kontrol yang maksimal di antara anggota keluarga. Kalau ada satu anak yang lagi suram, seisi rumah akan segera tahu karena pas sembunyi di kamar, eh saudara yang lain masuk kamar (yang memang nggak ada kuncinya) terus melihat saudaranya yang satu ini lagi menangis. Melaporlah si saudara yang lain ini pada Ummi; “Mi, Kak Anu nangis di kamar…” Nanti kata Ummi; “Husss… udah diemin dulu…”
Walaupun begitu, Ummi dan Abi menghargai privasi kami. Mereka tidak pernah membuka-buka laci kami tanpa keperluan. Mereka percaya sekali, bahwa satu sama lain di antara kami akan saling mengingatkan kalau misalnya ada suatu barang yang bermasalah. Kan kalau barang itu disembunyikan, artinya barang itu bermasalah. Misalnya saja saya menyembunyikan coklat. Tidak perlu menunggu besok, adik saya yang lain sudah akan menemukannya di hari yang sama. Dan coklat itu memang barang yang bermasalah karena tidak dibagi.
Masih soal kontrol di antara anggota keluarga, semua ruangan yang bermuara di ruang tengah ini juga membawa keuntungan tersendiri bagi Ummi dan Abi. Mereka jadi mudah mengontrol aktivitas kami. Cukup duduk di ruang tengah, maka akan terlihat si Asiah lagi apa, Rufaida lagi apa, Hania lagi apa, dan yang lainnya. Selain itu, juga jadi mudah melihat siapa yang sudah sesore ini belum pulang ke rumah.
Sosialisasi pun tak perlu membuang energi banyak. Misalnya, merutinkan mengaji setiap habis maghrib. Tak perlu menggedor setiap pintu kamar sambil bilang: “hoi, ngaji!”. Sekali lagi, duduklah Ummi di ruang tengah sambil bilang; “ayo, ayo ngaji…” kemudian Ummi dan Abi mengaji di ruang tengah. Yang tadinya urung mengaji, jadi malu sendiri karena seisi rumah mengaji. Begitu juga kebiasaan berdiskusi di rumah kami. Ummi dan Abi jarang berdiskusi hanya berdua di kamar—kecuali kalau hal yang mereka diskusikan bukan menjadi urusan kami. Mereka terbiasa membaca buku, menghafal Qur’an, hadits, juga berdiskusi—dari soal agama, politik, sosial, sampai ekonomi—di ruang tengah. Mau tak mau, kami jadi ikut mendengar dan terbiasa dengan iklim itu.
Abi dan Ummi juga biasa menceritakan apa yang mereka alami hari itu kepada kami semua. Walau mungkin sebenarnya menceritakannya hanya kepada Abi atau Ummi. Tapi apa mau dikata, mereka bercerita di ruang tengah. Kami juga jadi ikut-ikut dengar, lalu nimbrung, lalu ikut-ikutan bercerita. Lama-lama kami pun biasa saling bertukar pengalaman di ruang tengah. Entah sambil makan, atau sambil belajar.
Orangtua kami tidak memaksakan terbangunnya suasana akrab. Mereka tidak memaksa diri mereka untuk nyambung dengan dunia kami. Suasana akrab itu terbangun karena kebiasaan yang sudah lama dibiasakan sejak kami masih kecil; saling terbuka dan bercerita. Rasanya kok aneh saja kalau tidak cerita ke Ummi. Sehingga keresahan-keresahan yang kami rasakan—terlebih yang berhubungan dengan identitas kami sebagai muslim/ah yang mencoba ber-Islam secara kaffah—akan tercetus begitu saja, tanpa perlu ragu menceritakannya pada orangtua.
***
Kalau memutar kembali memori, sepertinya orangtua kami tidak terlalu repot menjebloskan kami untuk aktif dalam tarbiyah. Pemahaman kami akan pentingnya tarbiyah, tidak dipupuk dalam sehari langsung jadi. Di rumah sederhana kami, permasalahan ummat menjadi tema diskusi asyik. Dari diskusi ke diskusi, kesadaran kami akan pentingnya tarbiyah menjadi tumbuh sendiri. Pada awalnya malas datang ke tempat liqo. Kan bisa belajar aja sama Ummi, bantah kami. Tapi Ummi bilang, di rumah belajar juga, di luar belajar lebih banyak lagi. Tidak tanggung-tanggung, saya dan Milla sempat merasakan bagaimana Abi benar-benar amat memaksa kami sampai-sampai kami diantar ke tempat liqo, dan ditunggui pula sampai liqo selesai.
Kesannya, Abi kok kayak ga punya kerjaan lain aja selain nganterin anak liqo dan nungguin. Tapi pemaksaan serupa itu, membuat kami mencerna sendiri; berarti liqo itu emang penting banget ya, sampe-sampe Abi mau nganter dan nungguin aku…
Kami juga tidak lepas dari badai keinginan ingin pakai celana panjang dan jilbab agak naik sedikit. Keresahan itu kami ungkapkan pada Ummi; “kok si Anu pakai bajunya begitu, Mi. Aku boleh ga pakai baju kayak dia? Abis kemaren aku ke sekolah pakai rok dibilangnya kayak ibu-ibu…”
Nah lho… kalo saya jadi Ummi, saya bingung juga mau nasehatin kayak apa.
Ummi pada awalnya membolehkan kami memakai celana panjang asal longgar. Jilbab juga yang penting menutup dada, tidak perlu sampai lewat pinggang. Tapi kok ya baju yang dibelikan Ummi pada kami lagi-lagi rok. Ya apa boleh buat. Toh roknya juga not bad kok. Dan Ummi sekali waktu bilang: “perempuan itu lebih anggun tau kalo pake rok…” agak membesarkan hati sedikit. Tapi kemudian di sekolah, dikomentarin teman lagi: “Perasaan lo pake rok terus deh, sekali-kali dong pake celana panjang… gue pengen deh liat penampilan lo pake celana panjang…”
Komentar teman seperti di atas selalu bikin ciut. Untung kami punya Ummi. Lagi-lagi lapor ke Ummi, teman komentar begini, begitu. Ummi akan bilang: “ga usah didengar… Mereka memang selalu berkomentar. Orang itu kalau mau jadi lebih baik memang cobaannya banyak. Kalau kamu ciut hanya karena komentar begitu, sekarang bayangin jaman dulu waktu jilbab belum zamannya, perempuan yang pakai jilbab dijauhi orang, disangka aliran sesat, bahkan ada yang diusir dari rumah… Padahal perintah pakai jilbab itu ada di Al Qur’an, tapi malah dihina…”
Cerita-cerita itu membuat kami merasa tidak sendiri. Lagipula, kami biasa berbeda. Kami tidak tinggal di tengah-tengah keluarga tarbiyah yang lain. Kami tinggal di kampung yang tingkat pendidikan masyarakatnya rendah sampai-sampai anak kecil diajarkan buang air di kebun-kebun. Sampai-sampai pula, keluarga kami dicap orang Muhammadiyah yang kalo mens pun perempuan tetap sholat, dan kalau ada yang meninggal tidak disholatkan. What? Kayaknya orang Muhammadiyah ga gitu deh…
Jadi, menjadi berbeda di sekolah atau di antara teman sepermainan, adalah menambah sedikit daftar perbedaan kami. Orangtua selalu membesarkan hati kami lewat cerita dan diskusi. Bahwa menjadi berbeda itu sama sekali tidak buruk. Untungnya, nasehat ini tidak serta merta muncul ketika kami puber, di mana kami sudah kenal ‘dunia luar’. Mungkin karena Ummi saya tidak sibuk, dan Abi juga tidak sibuk dalam pekerjaan, jadi kami tidak mengalami missing age di mana ada kalanya kami jauh dari Ummi dan Abi. Mereka benar-benar orang terdekat kami dan teman sejati kami; orang-orang pertama yang kami hampiri ketika ada keresahan dan pertanyaan. Dan saya yakin betul, kedekatan ini tidak dibangun dalam hitungan hari, tapi hitungan tahun; sejak saya masih kecil, hingga kini umur saya menginjak 24 tahun.
***
Tidak ada hal khusus yang diterapkan orangtua kami untuk mendidik kami. Tidak ada buku parenting bertumpuk-tumpuk. Mereka tidak hapal teori psikologi pendidikan. Bahkan mungkin tidak tahu juga ada teori itu. Mereka juga tidak rajin ikut seminar-seminar parenting. Mereka terlampau sederhana untuk itu semua. Mereka mendidik kami dengan ilmu yang mereka punya ditambah dua hal saja: kontinyu dan konsisten. Kontinyu dalam hal mengingatkan, menasehati, dan mencontohkan. Konsisten dalam hal sekali bilang tidak maka tidak; tidak ada prinsip yang berubah.
Seperti matahari pada gugusan bima sakti, mereka terus menyinari, terus menjadi pusat kehidupan kami, tak bosan, tak lelah.
*Murni Hasil Copas
In My Eyes..
Bismillah...
Perputaran waktu kasar tak bertoleransi akan terus tetap pada poros putarannya.
Dia tak pernah menunggu apa lagi berhenti.
Pacuan tuntutan menjadi penentuan.
Semua hasil mimpi orang banyak.
Tak peduli lelah hati ini dan kegalauan jiwa ini.
Semua memaksa dan menarik siapapun.
Yang berjalan, yang berlari, bahkan yang terseok-seok merangkak.
Merasakan banyak alur hidup yang memandang ke depan dan ke belakang.
Seperti tertawa dan menangis.
Karena memang lalu lintas kehidupan itu tak pernah sepi.
Padat melintasi seluruh jalur keramaian.
Tak peduli siapa pengemudinya.
Tak peduli kendaraan apa yang ditumpanginya.
Tuhan, Kau membuka jalur bebas hambatan kepada semua yang Kau kehendaki.
Dan Kau hapus petunjuk pemandu arah juga sesuai yang Kau kehendaki.
Kami para pengemudi percaya, Kau takkan pernah diam dn lupa mengurus kami.
Tuhan, jadikan kami pengemudi yang hebat yang akan terus belajar berjalan, menuju syurga agungMu :)
Semoga Bermanfa'at :D
Perputaran waktu kasar tak bertoleransi akan terus tetap pada poros putarannya.
Dia tak pernah menunggu apa lagi berhenti.
Pacuan tuntutan menjadi penentuan.
Semua hasil mimpi orang banyak.
Tak peduli lelah hati ini dan kegalauan jiwa ini.
Semua memaksa dan menarik siapapun.
Yang berjalan, yang berlari, bahkan yang terseok-seok merangkak.
Merasakan banyak alur hidup yang memandang ke depan dan ke belakang.
Seperti tertawa dan menangis.
Karena memang lalu lintas kehidupan itu tak pernah sepi.
Padat melintasi seluruh jalur keramaian.
Tak peduli siapa pengemudinya.
Tak peduli kendaraan apa yang ditumpanginya.
Tuhan, Kau membuka jalur bebas hambatan kepada semua yang Kau kehendaki.
Dan Kau hapus petunjuk pemandu arah juga sesuai yang Kau kehendaki.
Kami para pengemudi percaya, Kau takkan pernah diam dn lupa mengurus kami.
Tuhan, jadikan kami pengemudi yang hebat yang akan terus belajar berjalan, menuju syurga agungMu :)
Semoga Bermanfa'at :D
And Finally ..
Bismillah..
Perpijakan yang nyata di bumi pertiwi.
Saya tertegun pada langkah pertama.
Langkah kedua, ketiga dan seterusnya, nothing special.
Semakin dewasa, semakin mengerti apa realisasi dari semua harta karun getir yang terpendam, terkubur dalam.
Rasanya tertohok menyimak lika liku senyum dan tangis yang berebut saling bertegur sapa.
Seakan mengerti komando tanpa aba-aba.
Lingkungan dan keluarga yang menjalar akrab seperti sebuah pijaran cahaya dalam seonggok kegelapan.
Mungkin ini ajang penentuannya.
Siapa yang berdiri tegar, berpegang teguh dengan komitmen, akan mendapat balasan yang terbungkus rapi.
Cerita itu sekedar bergeser seiring waktu kehidupanku, tapi tidak bergeser dari panggung sejarah.
Cerita indah itu masih menjadi pelabuhan favorit untuk angan pelayaranku.
Sekali, oh tidak, mungkin dua, tiga, empat kali, bahkan mungkin lebih, tak letih kuhibur diriku, di sana ada yang menantimu, bersih membentangkan kebahagiaan.
Tersenyumlah.
Pengistirahatan hati.
Ini kalimat ambigu yang kupilih sebagai cerminan kesimpulan.
Kisah yang masih kuanggap aneh dan memang tak pernah memiliki akhir yang baik.
Justru cerita yang kupunya sebenarnya sempurna, ya sempurna kenaasannya.
Mungkin seharusnya aku harus tetap bersyukur, memiliki balutan hati yang normal.
Siapa pun, kapan pun, di mana pun, dan bagaimanapun. Itu yang kumengerti.
Love is all of every.
Tapi dewasa ini, aku merasa tertohok dengan realita.
Ya, realita yang tertawa jelas dengan gagah dan lantang memperjelas fakta-fakta bukti nyata.
Realita yang samasekali tak sudi menerima penawaran sedikitpun.
Realita yang tak memberikan kesempatan aku untuk memilih.
Berbicara menyeret semua, apa yang tak kusadari secara kaffah.
Menyelidik apa yang tak kubaca dan memang tak terbaca.
Merasa mengenal tapi merana dalam kegelisahan dan kekhawatiran
Entah apa kehendak Tuhan.
Yang kutahu, semua tak murni revolusi dari kebetulan.
Karena pertemuan dan perpisahan, itu kehendakNya.
Karena mungkin, semua sudah tertulis jelas tanpa rekayasa.
Terpampang menampar paksa siapapun penerima cerita itu.
Gamblang dan merasa menang apapun sebab akibatnya.
Berebut prasangka ini menjawab semua kegundahan.
Meski tak ada yang tahu, siapa yang menemani bersama kebenaran.
Lama sudah kutanyakan dengan bagian terlemah yang mudah rusak ini,
"kenapa tak kau putuskan untuk segera pergi?"
Tapi jawaban yang kudapat hingga hari ini,
keheningan yang terus menuntunku menyebrangi jembatan pelangi yang masih tak terkendali.
Semoga Bermanfaat :)
Perpijakan yang nyata di bumi pertiwi.
Saya tertegun pada langkah pertama.
Langkah kedua, ketiga dan seterusnya, nothing special.
Semakin dewasa, semakin mengerti apa realisasi dari semua harta karun getir yang terpendam, terkubur dalam.
Rasanya tertohok menyimak lika liku senyum dan tangis yang berebut saling bertegur sapa.
Seakan mengerti komando tanpa aba-aba.
Lingkungan dan keluarga yang menjalar akrab seperti sebuah pijaran cahaya dalam seonggok kegelapan.
Mungkin ini ajang penentuannya.
Siapa yang berdiri tegar, berpegang teguh dengan komitmen, akan mendapat balasan yang terbungkus rapi.
Cerita itu sekedar bergeser seiring waktu kehidupanku, tapi tidak bergeser dari panggung sejarah.
Cerita indah itu masih menjadi pelabuhan favorit untuk angan pelayaranku.
Sekali, oh tidak, mungkin dua, tiga, empat kali, bahkan mungkin lebih, tak letih kuhibur diriku, di sana ada yang menantimu, bersih membentangkan kebahagiaan.
Tersenyumlah.
Pengistirahatan hati.
Ini kalimat ambigu yang kupilih sebagai cerminan kesimpulan.
Kisah yang masih kuanggap aneh dan memang tak pernah memiliki akhir yang baik.
Justru cerita yang kupunya sebenarnya sempurna, ya sempurna kenaasannya.
Mungkin seharusnya aku harus tetap bersyukur, memiliki balutan hati yang normal.
Siapa pun, kapan pun, di mana pun, dan bagaimanapun. Itu yang kumengerti.
Love is all of every.
Tapi dewasa ini, aku merasa tertohok dengan realita.
Ya, realita yang tertawa jelas dengan gagah dan lantang memperjelas fakta-fakta bukti nyata.
Realita yang samasekali tak sudi menerima penawaran sedikitpun.
Realita yang tak memberikan kesempatan aku untuk memilih.
Berbicara menyeret semua, apa yang tak kusadari secara kaffah.
Menyelidik apa yang tak kubaca dan memang tak terbaca.
Merasa mengenal tapi merana dalam kegelisahan dan kekhawatiran
Entah apa kehendak Tuhan.
Yang kutahu, semua tak murni revolusi dari kebetulan.
Karena pertemuan dan perpisahan, itu kehendakNya.
Karena mungkin, semua sudah tertulis jelas tanpa rekayasa.
Terpampang menampar paksa siapapun penerima cerita itu.
Gamblang dan merasa menang apapun sebab akibatnya.
Berebut prasangka ini menjawab semua kegundahan.
Meski tak ada yang tahu, siapa yang menemani bersama kebenaran.
Lama sudah kutanyakan dengan bagian terlemah yang mudah rusak ini,
"kenapa tak kau putuskan untuk segera pergi?"
Tapi jawaban yang kudapat hingga hari ini,
keheningan yang terus menuntunku menyebrangi jembatan pelangi yang masih tak terkendali.
Semoga Bermanfaat :)
Jangan Tunggu Hati Tersenyum.
Bismillah...
Tinggi dan rendahnya permukaan tak menjadi ukuranMu menetapkan kehendakMu.
Siapapun, dan apa pun keadaannya, pasti Kau eksekusikan takdir hebatMu, entah itu kebaikan, atau sebuah rahmat yang kurang berkenan bagi yang mengembannya.
Aku, entah kapan aku menerapkan kesadaranku pada semua yang bergulir melirikku.
Waktu memang berhak terus berputar.
Seperti melodi cerita hidupku yang terus melukis pelangi kelabu dan bahagia.
Kalau memang rotasi warna hidup tak acuh melirikku, aku pun tak peduli.
Karena berteman dengan waktu, berarti siap kehilangan dan siap hangat menyambut apapun dan siapapun.
Saudaraku, pernah kau dengar suara nuranimu bernyanyi bersama indah alam ini?
Kalau iya, teruskan lah bernyanyi semerdu mungkin, walau telinga waktu tidak mendengarnya.
Sahabatku, maukah kau mengajak langkah kakimu mendekat kepada senyum manis kehidupan?
Kalau iya, berlarilah.
Rentangkan tangan mu untuk merengkuh apapun itu, siapapun, dan dimanapun.
Dan, tidakkah kau mau, sekedar tersenyum kepada sang duri pencelup darah kemenanganmu?
Kalau iya, bersabarlah, karena benteng pertahananmu, tak akan menyinggung masa depanmu yg suci dan bersih.
Banyak dari mereka, bahkan sebagian besar, menginginkan bongkahan mutiara tak terproses.
Tak mungkin memang, tapi itulah kenyataannya.
Banyak yang terbelalak setelah mengenal lama lembah berbagi ceritanya, tapi justru merasa salah memilih dan ingin mencari, mendapatkan yang lebih.
Kaum mayoritas itu, mendambakan kelambanan waktu saat mereka merasa menjadi juara nomor satu.
Apapun sebab akibatnya, itu keinginan yang jelas tergambar dari semua kesimpulan raut wajahnya.
Carut marut kehidupan sampai detik ini pun tak mampu lembut menuntun pahitnya masa lalu pergi dari penglihatan semuku.
Walau kubiarkan cahaya melukiskan semua kenangan di mimpiku, aku tetap tak menyesal pernah mengenal semuanya.
Itu hanya hadiah yang dibedakan oleh perasa variasi.
Entah apa kesimpulan yang nanti kurangkum dalam album kerentaanku.
Yang kutahu, sampai hari ini, Tuhan masih menemaniku bernafas.
Entah apa yang bisa kuberikan lagi untuk mereka jiwa kesayanganku.
Yang kupahami, sampai detik ini, Tuhan masih menjaga mereka disisiku.
Entah sampai kapan aku bisa jelas menyimak berbagai bias cerita yang berbunga.
Yang kujalani, sampai sekarang, Tuhan belum menempatkanku di peristirahatan terakhirku.
Dan entah sampai mana kamuflase tanpa penawaran ini bertahan.
Yang kupelajari, mengukir senyum ceria diwajahku, tanpa menunggu hatiku tersenyum lebih dulu.
Kini biar Tuhan yang Melihat, dimana namaku tersematkan.
Karena ku yakin, Tuhan tak kan membiarkan ku sendiri.
Karena ku tahu, Dia, tak pernah takut dengan apa yang Dia putuskan.
Dan ku percaya,
Dia mengetahui semua keterbatasan dimana senyumku tak terukir lagi.
Semoga Bemanfaat :)
Tinggi dan rendahnya permukaan tak menjadi ukuranMu menetapkan kehendakMu.
Siapapun, dan apa pun keadaannya, pasti Kau eksekusikan takdir hebatMu, entah itu kebaikan, atau sebuah rahmat yang kurang berkenan bagi yang mengembannya.
Aku, entah kapan aku menerapkan kesadaranku pada semua yang bergulir melirikku.
Waktu memang berhak terus berputar.
Seperti melodi cerita hidupku yang terus melukis pelangi kelabu dan bahagia.
Kalau memang rotasi warna hidup tak acuh melirikku, aku pun tak peduli.
Karena berteman dengan waktu, berarti siap kehilangan dan siap hangat menyambut apapun dan siapapun.
Saudaraku, pernah kau dengar suara nuranimu bernyanyi bersama indah alam ini?
Kalau iya, teruskan lah bernyanyi semerdu mungkin, walau telinga waktu tidak mendengarnya.
Sahabatku, maukah kau mengajak langkah kakimu mendekat kepada senyum manis kehidupan?
Kalau iya, berlarilah.
Rentangkan tangan mu untuk merengkuh apapun itu, siapapun, dan dimanapun.
Dan, tidakkah kau mau, sekedar tersenyum kepada sang duri pencelup darah kemenanganmu?
Kalau iya, bersabarlah, karena benteng pertahananmu, tak akan menyinggung masa depanmu yg suci dan bersih.
Banyak dari mereka, bahkan sebagian besar, menginginkan bongkahan mutiara tak terproses.
Tak mungkin memang, tapi itulah kenyataannya.
Banyak yang terbelalak setelah mengenal lama lembah berbagi ceritanya, tapi justru merasa salah memilih dan ingin mencari, mendapatkan yang lebih.
Kaum mayoritas itu, mendambakan kelambanan waktu saat mereka merasa menjadi juara nomor satu.
Apapun sebab akibatnya, itu keinginan yang jelas tergambar dari semua kesimpulan raut wajahnya.
Carut marut kehidupan sampai detik ini pun tak mampu lembut menuntun pahitnya masa lalu pergi dari penglihatan semuku.
Walau kubiarkan cahaya melukiskan semua kenangan di mimpiku, aku tetap tak menyesal pernah mengenal semuanya.
Itu hanya hadiah yang dibedakan oleh perasa variasi.
Entah apa kesimpulan yang nanti kurangkum dalam album kerentaanku.
Yang kutahu, sampai hari ini, Tuhan masih menemaniku bernafas.
Entah apa yang bisa kuberikan lagi untuk mereka jiwa kesayanganku.
Yang kupahami, sampai detik ini, Tuhan masih menjaga mereka disisiku.
Entah sampai kapan aku bisa jelas menyimak berbagai bias cerita yang berbunga.
Yang kujalani, sampai sekarang, Tuhan belum menempatkanku di peristirahatan terakhirku.
Dan entah sampai mana kamuflase tanpa penawaran ini bertahan.
Yang kupelajari, mengukir senyum ceria diwajahku, tanpa menunggu hatiku tersenyum lebih dulu.
Kini biar Tuhan yang Melihat, dimana namaku tersematkan.
Karena ku yakin, Tuhan tak kan membiarkan ku sendiri.
Karena ku tahu, Dia, tak pernah takut dengan apa yang Dia putuskan.
Dan ku percaya,
Dia mengetahui semua keterbatasan dimana senyumku tak terukir lagi.
Semoga Bemanfaat :)
TNT Gunadarma dan 5 "ES" senjata sukses.
TNT (Tips N Trik). Acara salah satu UKM Universitas Gunadarma. Fajrul Islam atau sering akrab dikenal dengan sebutan FARIS, berhasil membombardir antusiasme ratusan mahasiswa baru gunadarma kalimalang bekasi pada tanggal 22 Agustus 2011 kemarin.
Yang mengagumkan, ternyata keterbatasan saat shaum Ramadhan tidak membatasi semangat langkah para generasi muda yang akan menjadi penerus selanjutnya.
Satu, dua, tiga dan terus bertambah sampai akhirnya membludak ruang cinema yang menjadi lapangan permainan kami kala hari itu.
Kanan, kiri, depan, belakang, perlahan tapi pasti satu persatu bangku cinema terjamah para penunggangnya. Penuh tapi tetap nyaman dan kondusif. Itu, mereka yang duduk di sana itu, tentara tanpa ampun yang berhasil memenangkan langkah matinya di rumah pagi tadi.
Pembukaan, pembacaan merdu ayat-ayat potongan surat cintaNya, sambutan-sambutan dahsyat para jiwa organisatoris yang membeberkan banyak gelora kesuksesan masa depan. Sampai pada tausiyah singkat sang penyampai pengetahuan yang belum diketahui sebagian dari kami. Terus berlanjut, tiba di pertengahan acara, peserta dan panitia dihibur oleh penampilan aplikasi pola dakwah penuh seni, bernyanyi dan tertawa. Acara terus berjalan sampai pada moment penjabaran tentang sistem pembelajaran hebat sarjana magister, singkat dan memikat. Semua bergulir sampai pada acara yang menggebrak kesadaran bagi mereka yang memang tersadar. Training motivation.
Ust.Yadin. Begitu nama pembicara yang terbaca dari informasi yang tersebar. Datar alur pertama, dilanjutkan sayup-sayup tawa disana sini. Tawa makin renyah. Riuh gemuruh tapi tetap tersimak menyeluruh.
Satu tayangan, dua, tiga dan selanjutnya. Sampai akhirnya dipenjabaran 5 peluru rahasia yang harus dimiliki untuk menjadi manusia sukses. Mulai dari yang pertama :
1. Syukur.
Bliau bilang, "Apapun itu, banggalah dan berkorbanlah"
Contoh penjabaran singkatnya, ketika ditanya tentang kuliah dimana?, apa lauk makan hari ini?, apa profesi orang tuamu?, tamatan mana orang tuamu?. Sisipkan 1 kata indah di awal sebelum jawaban hebatmu, "Alhamdulillah, saya kuliah di...", "Alhamdulillah, hari ini saya makan...", "Alhamdulillah, orangtuaku...", dan seterusnya. Apapun itu, bersyukurlah. Karena teorinya, ketika kau ditanya tentang harta, tengoklah orang-orang dibawahmu, dan ketika imanmu dikoreksi, lihatlah sahabat-sahabat anbiyya yang imannya luar biasa. :D
2. Serius dan Fokus
Formulanya, "Orang menjadi juara karena ikut lomba"
Semua tidak akan pernah menjadi pemenang tanpa adanya kompetisi, tanpa adanya lawan. Manusia juga tidak akan pernah tau dia salah ketika dia tidak pernah salah. Salah yang menuntun kepada pengertian sebuah kebenaran, itu yang disebut menang. Mengalahkan keraguan, ketakutan, bahkan yang paling tenar sekalipun, kemalasan dari diri sendiri, itu juga yang disebut menang. So, be serious and focus, and you'll be the winner. Swear it! :D
3. Semangat Kompetisi
Dalihnya, "Hidup terlalu singkat untuk hidup biasa"
Wacana ini yang menjadi gebrakan kenapa seorang harus hijrah, harus berubah. Kalau pak Mario bilang, "Berubah memang tidak menjamin untuk menjadi lebih baik, tapi sesuatu tidak akan menjadi lebih baik tanpa perubahan". Artinya, kompetisi untuk menjadi yang terbaik itu adalah kunci untuk menjadi pribadi yang berkarakter langka, tidak seperti manusia kebanyakan. :D
4. Semua Adalah Juara
Karena "Hidup adalah perlombaan"
G percaya? Dari awal manusia diciptakan, kita masing-masing bersaing melawan ratusan juta peserta yang lainnya. Dari ratusan juta sperma itulah kita yang dipilih sebagai juara satu, juara yang berhasil melihat peliknya dunia. Dan itu sekarang yang sedang membaca narasi dihadapannya. Jadi, minder untuk kalah tidak layak dipertahankan, karena memang kita sudah dilahirkan sebagai pemenang, jadi mau bagaimana lagi, pilihannya cuma 'mau jadi pemenang atau pemenang?' Each of you is the winner, believe it or believe :D
5. Semangat Melangkah untuk Maju
Perhatikan "Setiap kita melangkah, kaki belakang selalu yang melangkah lebih dulu"
Masih g percaya juga? Try it! haha. Nah, sekarang hikmahnya, seorang yang merasa sudah tertinggal sejauh apapun, pasti bisa maju, pasti bisa berhasil. Mulailah dengan hidup yang direncanakan, buat tanggal untuk impianmu, itulah yang dinamakan cita-cita. Selangkah setelah itu, biarkan langkah gontai yang anggun milikmu itu merubah sendiri cerita hari-harimu, biarkan senyum manismu merekah makin lebar dan manis. Sekarang modalnya, cuma keberanian dan 'mau atau tidak?' Choose it! :D
Kesimpulan akhir yang disampaikan oleh ust.Yadin dalam momentum spektakuler itu adalah, jangan ceroboh karena itu sumber bencana. Jangan takut berlomba dengan waktu, saingan dan kesempatan. Jadilah sumber pahala bagi orang lain. Karena kita ... Begitu berharga :)
Yang mengagumkan, ternyata keterbatasan saat shaum Ramadhan tidak membatasi semangat langkah para generasi muda yang akan menjadi penerus selanjutnya.
Satu, dua, tiga dan terus bertambah sampai akhirnya membludak ruang cinema yang menjadi lapangan permainan kami kala hari itu.
Kanan, kiri, depan, belakang, perlahan tapi pasti satu persatu bangku cinema terjamah para penunggangnya. Penuh tapi tetap nyaman dan kondusif. Itu, mereka yang duduk di sana itu, tentara tanpa ampun yang berhasil memenangkan langkah matinya di rumah pagi tadi.
Pembukaan, pembacaan merdu ayat-ayat potongan surat cintaNya, sambutan-sambutan dahsyat para jiwa organisatoris yang membeberkan banyak gelora kesuksesan masa depan. Sampai pada tausiyah singkat sang penyampai pengetahuan yang belum diketahui sebagian dari kami. Terus berlanjut, tiba di pertengahan acara, peserta dan panitia dihibur oleh penampilan aplikasi pola dakwah penuh seni, bernyanyi dan tertawa. Acara terus berjalan sampai pada moment penjabaran tentang sistem pembelajaran hebat sarjana magister, singkat dan memikat. Semua bergulir sampai pada acara yang menggebrak kesadaran bagi mereka yang memang tersadar. Training motivation.
Ust.Yadin. Begitu nama pembicara yang terbaca dari informasi yang tersebar. Datar alur pertama, dilanjutkan sayup-sayup tawa disana sini. Tawa makin renyah. Riuh gemuruh tapi tetap tersimak menyeluruh.
Satu tayangan, dua, tiga dan selanjutnya. Sampai akhirnya dipenjabaran 5 peluru rahasia yang harus dimiliki untuk menjadi manusia sukses. Mulai dari yang pertama :
1. Syukur.
Bliau bilang, "Apapun itu, banggalah dan berkorbanlah"
Contoh penjabaran singkatnya, ketika ditanya tentang kuliah dimana?, apa lauk makan hari ini?, apa profesi orang tuamu?, tamatan mana orang tuamu?. Sisipkan 1 kata indah di awal sebelum jawaban hebatmu, "Alhamdulillah, saya kuliah di...", "Alhamdulillah, hari ini saya makan...", "Alhamdulillah, orangtuaku...", dan seterusnya. Apapun itu, bersyukurlah. Karena teorinya, ketika kau ditanya tentang harta, tengoklah orang-orang dibawahmu, dan ketika imanmu dikoreksi, lihatlah sahabat-sahabat anbiyya yang imannya luar biasa. :D
2. Serius dan Fokus
Formulanya, "Orang menjadi juara karena ikut lomba"
Semua tidak akan pernah menjadi pemenang tanpa adanya kompetisi, tanpa adanya lawan. Manusia juga tidak akan pernah tau dia salah ketika dia tidak pernah salah. Salah yang menuntun kepada pengertian sebuah kebenaran, itu yang disebut menang. Mengalahkan keraguan, ketakutan, bahkan yang paling tenar sekalipun, kemalasan dari diri sendiri, itu juga yang disebut menang. So, be serious and focus, and you'll be the winner. Swear it! :D
3. Semangat Kompetisi
Dalihnya, "Hidup terlalu singkat untuk hidup biasa"
Wacana ini yang menjadi gebrakan kenapa seorang harus hijrah, harus berubah. Kalau pak Mario bilang, "Berubah memang tidak menjamin untuk menjadi lebih baik, tapi sesuatu tidak akan menjadi lebih baik tanpa perubahan". Artinya, kompetisi untuk menjadi yang terbaik itu adalah kunci untuk menjadi pribadi yang berkarakter langka, tidak seperti manusia kebanyakan. :D
4. Semua Adalah Juara
Karena "Hidup adalah perlombaan"
G percaya? Dari awal manusia diciptakan, kita masing-masing bersaing melawan ratusan juta peserta yang lainnya. Dari ratusan juta sperma itulah kita yang dipilih sebagai juara satu, juara yang berhasil melihat peliknya dunia. Dan itu sekarang yang sedang membaca narasi dihadapannya. Jadi, minder untuk kalah tidak layak dipertahankan, karena memang kita sudah dilahirkan sebagai pemenang, jadi mau bagaimana lagi, pilihannya cuma 'mau jadi pemenang atau pemenang?' Each of you is the winner, believe it or believe :D
5. Semangat Melangkah untuk Maju
Perhatikan "Setiap kita melangkah, kaki belakang selalu yang melangkah lebih dulu"
Masih g percaya juga? Try it! haha. Nah, sekarang hikmahnya, seorang yang merasa sudah tertinggal sejauh apapun, pasti bisa maju, pasti bisa berhasil. Mulailah dengan hidup yang direncanakan, buat tanggal untuk impianmu, itulah yang dinamakan cita-cita. Selangkah setelah itu, biarkan langkah gontai yang anggun milikmu itu merubah sendiri cerita hari-harimu, biarkan senyum manismu merekah makin lebar dan manis. Sekarang modalnya, cuma keberanian dan 'mau atau tidak?' Choose it! :D
Kesimpulan akhir yang disampaikan oleh ust.Yadin dalam momentum spektakuler itu adalah, jangan ceroboh karena itu sumber bencana. Jangan takut berlomba dengan waktu, saingan dan kesempatan. Jadilah sumber pahala bagi orang lain. Karena kita ... Begitu berharga :)
Dearest, Palestine.
Bismillah, Hola sahabat, apa kabar?
Iseng-iseng buka-buka file, ketemu puisi amatir, tp, nikmatin aja dh ya :D
Gemuruh harii ini mjd renunganku d sini.
Kebal baja hatimu membuat gentar tekad yg membaja mmbalas senjata tnpa mata.
Tertegun dn membatu, diam tak menjawab.
Trus brteriak dlm hati,
Membuat jiwa ini menangis menatapmu.
Semua yg d sana, tak pernah hiraukan perihnya panas yg membakar lukamu tnpa toleransi.
Semua yg d sana, memandang, bertasbih, sujud bermunajat kpdaNya.
Jiwa-jiwa gigih penuh militansi dan ambisi.
Merangkul sandangan jundullah tnpa kecuali.
Mengulung senyum yg tak pernah terbebas dri tangisan.
Darah harum syuhada ini, akn mjd bukti pasti, pndangan cermin orang banyak.
Balutan luka ini, akhirna akn mjd indah terkubur dlm catatan sejarah dunia.
Hempasan akhir nafas ini, ckup mjd kunci perjuangan yg msih tersisa.
Rabbi, lindungi saudara kami.
di sana, d tempat bangku sekolah bukan lgi mjd hal yg bisa d rasakan setiap hari.
di sana, d tempat mereka yg tak berdosa mengakhiri hidupnya dg smua yg tak pernah teraba sblmnya.
di sana, d tempat keberanian manusia mungil membela agamaMu.
di sana, d tempat para ibu melepaskan syuhada kecilna dgn doa yg tak terputus.
di sana, di palestine..
Iseng-iseng buka-buka file, ketemu puisi amatir, tp, nikmatin aja dh ya :D
Gemuruh harii ini mjd renunganku d sini.
Kebal baja hatimu membuat gentar tekad yg membaja mmbalas senjata tnpa mata.
Tertegun dn membatu, diam tak menjawab.
Trus brteriak dlm hati,
Membuat jiwa ini menangis menatapmu.
Semua yg d sana, tak pernah hiraukan perihnya panas yg membakar lukamu tnpa toleransi.
Semua yg d sana, memandang, bertasbih, sujud bermunajat kpdaNya.
Jiwa-jiwa gigih penuh militansi dan ambisi.
Merangkul sandangan jundullah tnpa kecuali.
Mengulung senyum yg tak pernah terbebas dri tangisan.
Darah harum syuhada ini, akn mjd bukti pasti, pndangan cermin orang banyak.
Balutan luka ini, akhirna akn mjd indah terkubur dlm catatan sejarah dunia.
Hempasan akhir nafas ini, ckup mjd kunci perjuangan yg msih tersisa.
Rabbi, lindungi saudara kami.
di sana, d tempat bangku sekolah bukan lgi mjd hal yg bisa d rasakan setiap hari.
di sana, d tempat mereka yg tak berdosa mengakhiri hidupnya dg smua yg tak pernah teraba sblmnya.
di sana, d tempat keberanian manusia mungil membela agamaMu.
di sana, d tempat para ibu melepaskan syuhada kecilna dgn doa yg tak terputus.
di sana, di palestine..
Senin, 02 Januari 2012
DBMS (DataBase Management System)
Bismillah...
Hola kawan, bagaimana kabar hari ini? smoga Tuhan selalu jaga senyum manis mu ya :)
Siap, sekarang setelah sebelumnya kemarin kita membahas sedikit tentang arsitektur basis data, sekarang kita lanjutkan jelajah ilmu tentang DBMS (DataBase Management System).
Menurut sumber yang saya dapat setelah googling. Deskripsi dari definisi DBMS sendiri adalah,
*Kumpulan relasi data
*Kumpulan program untuk mengakses data
*Berisi informasi bagian-bagian perusahaan
*Menyediakan lingkungan yang tepat dan efisien untuk digunakan
DBMS juga menyentuh semua aspek kehidupan lho, memang tidak secara terperinci, tapi, hampir semua jenis aspek kegiatan kerja mulai dari perkantoran sampai pekerjaan sehari-hari, DBMS bisa meng-cover semuanya.
Ok, sebagai bukti, beberapa aplikasi langsung dalam berbagai bidang yang di-handle langsung oleh DBMS ini adalah:
1. Bidang Per-bank-an: Dalam semua jenis transaksi
2. Bidang Penerbangan: Dalam hal resevasi dan penjadwalan
3. Bidang Universitas atau Perguruan Tinggi: Dalam hal pendaftaran dan pelulusan
4. Bidang Penjualan: Ketika memuat data pelanggan, produk dan penyimpanan
5. Bidang Manufactur: Ini terkait dalm hal produksi, inventori, order, dan jaringan pemasok
6. Bidang SDM: Saat merekord karyawan, gaji, dan pemotongan pajak
Pada awalnya, DBMS dibangun diatas sistem file, tapi sayangnya, penggunaan sistem file sebagai penyimpan data sendiri memiliki banyak kelemahan, beberapa diantaranya :
1. Redundansi/Kerangkapan Data
2. Sulit dalam mengakses data
3. Pengisolasian data (banyak file dengan format berbeda)
4. Masalah integritas (keterpaduan) data
Nah, DBMS yang sudah tidak berdiri diatas sistem file, sekarang dapat mengatasi beberapa masalah diatas.
Oh iya, ada juga beberapa contoh program aplikasi dari DBMS sendiri, yang saya tahu setelah mengikuti MatKul Pengantar Basis Data kemarin ada 3, Ms.Access, SQL, dan Oracle.
Biar para pembaca g bingung, penjabaran singkat dibawah ini, tolong keep reading ya :)
ok, pertama Microsoft Access, menurut Ensiklopedia yang sudah mendunia, Ms.Access adalah Program aplikasi basis data komputer relasional yang ditujukan untuk kalangan rumahan dan perusahaan kecil hingga menengah.
nah, sedangkan SQL sendiri, menurut narasumber Edi Susanto, SQL adalah singkatan dari Structured Query Languange. Versi pertama dari SQL ini dikembangkan oleh IBM di awal tahun 1970 yang diberi nama System R. System R ini dibuat berdasarkan paper milik Edgar. F. Codd. Pertama kali mereka memberikan nama terhadap project itu SEQUEL (Structured English Query Language), bahasa ini diciptakan untuk mengatur System R. Sampai sekarang pun SQL dalam cara pelafalannya disebut dengan “sequel”.
sip, lanjut ke contoh terakhir, yaitu oracle. yuk kita intip lagi perpustakaan terlengkap didunia, Aplikasi oracle itu adalah basis data relasional yang terdiri dari kumpulan data dalam suatu sistem manajemen basis data RDBMS. Perusahaan perangkat lunak Oracle memasarkan jenis basis data ini untuk bermacam-macam aplikasi yang bisa berjalan pada banyak jenis dan merk perangkat keras komputer (platform). Basis data Oracle ini pertama kali dikembangkan oleh Larry Ellison, Bob Miner dan Ed Oates lewat perusahaan konsultasinya bernama Software Development Laboratories (SDL) pada tahun 1977. Pada tahun 1983, perusahaan ini berubah nama menjadi Oracle Corporation sampai sekarang.
Hm, sepertinya sampai di sini dulu berbagi tentang DBMSnya, silahkan berkenalan dengan yang namanya DBMS. daaan, selamat belajar :D
Hola kawan, bagaimana kabar hari ini? smoga Tuhan selalu jaga senyum manis mu ya :)
Siap, sekarang setelah sebelumnya kemarin kita membahas sedikit tentang arsitektur basis data, sekarang kita lanjutkan jelajah ilmu tentang DBMS (DataBase Management System).
Menurut sumber yang saya dapat setelah googling. Deskripsi dari definisi DBMS sendiri adalah,
*Kumpulan relasi data
*Kumpulan program untuk mengakses data
*Berisi informasi bagian-bagian perusahaan
*Menyediakan lingkungan yang tepat dan efisien untuk digunakan
DBMS juga menyentuh semua aspek kehidupan lho, memang tidak secara terperinci, tapi, hampir semua jenis aspek kegiatan kerja mulai dari perkantoran sampai pekerjaan sehari-hari, DBMS bisa meng-cover semuanya.
Ok, sebagai bukti, beberapa aplikasi langsung dalam berbagai bidang yang di-handle langsung oleh DBMS ini adalah:
1. Bidang Per-bank-an: Dalam semua jenis transaksi
2. Bidang Penerbangan: Dalam hal resevasi dan penjadwalan
3. Bidang Universitas atau Perguruan Tinggi: Dalam hal pendaftaran dan pelulusan
4. Bidang Penjualan: Ketika memuat data pelanggan, produk dan penyimpanan
5. Bidang Manufactur: Ini terkait dalm hal produksi, inventori, order, dan jaringan pemasok
6. Bidang SDM: Saat merekord karyawan, gaji, dan pemotongan pajak
Pada awalnya, DBMS dibangun diatas sistem file, tapi sayangnya, penggunaan sistem file sebagai penyimpan data sendiri memiliki banyak kelemahan, beberapa diantaranya :
1. Redundansi/Kerangkapan Data
2. Sulit dalam mengakses data
3. Pengisolasian data (banyak file dengan format berbeda)
4. Masalah integritas (keterpaduan) data
Nah, DBMS yang sudah tidak berdiri diatas sistem file, sekarang dapat mengatasi beberapa masalah diatas.
Oh iya, ada juga beberapa contoh program aplikasi dari DBMS sendiri, yang saya tahu setelah mengikuti MatKul Pengantar Basis Data kemarin ada 3, Ms.Access, SQL, dan Oracle.
Biar para pembaca g bingung, penjabaran singkat dibawah ini, tolong keep reading ya :)
ok, pertama Microsoft Access, menurut Ensiklopedia yang sudah mendunia, Ms.Access adalah Program aplikasi basis data komputer relasional yang ditujukan untuk kalangan rumahan dan perusahaan kecil hingga menengah.
nah, sedangkan SQL sendiri, menurut narasumber Edi Susanto, SQL adalah singkatan dari Structured Query Languange. Versi pertama dari SQL ini dikembangkan oleh IBM di awal tahun 1970 yang diberi nama System R. System R ini dibuat berdasarkan paper milik Edgar. F. Codd. Pertama kali mereka memberikan nama terhadap project itu SEQUEL (Structured English Query Language), bahasa ini diciptakan untuk mengatur System R. Sampai sekarang pun SQL dalam cara pelafalannya disebut dengan “sequel”.
sip, lanjut ke contoh terakhir, yaitu oracle. yuk kita intip lagi perpustakaan terlengkap didunia, Aplikasi oracle itu adalah basis data relasional yang terdiri dari kumpulan data dalam suatu sistem manajemen basis data RDBMS. Perusahaan perangkat lunak Oracle memasarkan jenis basis data ini untuk bermacam-macam aplikasi yang bisa berjalan pada banyak jenis dan merk perangkat keras komputer (platform). Basis data Oracle ini pertama kali dikembangkan oleh Larry Ellison, Bob Miner dan Ed Oates lewat perusahaan konsultasinya bernama Software Development Laboratories (SDL) pada tahun 1977. Pada tahun 1983, perusahaan ini berubah nama menjadi Oracle Corporation sampai sekarang.
Hm, sepertinya sampai di sini dulu berbagi tentang DBMSnya, silahkan berkenalan dengan yang namanya DBMS. daaan, selamat belajar :D
Langganan:
Postingan (Atom)