Penulis : Meralda Nindyasti
Rabb, dahulu, saat awal penciptaanku, aku takut turun ke bumi. Aku takut sendiri. Tapi Kau menjanjikan aku, bahwa di bumi nanti, akan ada malaikat yang selalu menjagaku dengan kelembutan dekapannya, bahkan sampai rela mengorbankan jiwanya.
Dahulu, aku takut turun ke bumi. Aku khawatir bahwa bumi tak seindah surga. Tapi, Allah menjanjikan aku, bahwa di bumi nanti, akan ada malaikat yang mengajakku menikmati indahnya dunia dengan iman.
Dahulu, aku takut turun ke bumi. Aku takut tidak bisa berjumpa denganMu lagi. Tapi Allah menjanjikanku, bahwa nanti di bumi, akan ada malaikat yang membimbingku tuk mengenal Islam.
Duhai jiwa, terkenanglah kembali sosok malaikat itu. Ibu...
Remajaku dulu, aku masih belum mengenal bahasa penjagaanmu padaku. Kau larang aku pergi malam, kau menyuruhku tuk tetap tinggal, menemanimu yang tengah sendiri di rumah. Tapi aku lebih memilih keceriaan bersama teman. Aku lebih memilih kebersamaan bersama mereka.
Duhai Ibu, sekali lagi, maafkan Lahirku ke dunia, berhutang darah dan nyawa pada ibuku. Perjuangan yang melalui garis batas antara hidup dan mati. Pengorbanan yang bukan dilakukan oleh pria yang gagah-perkasa, tapi oleh wanita dengan segala kelemahannya.
Ibu, maafkan aku...
Lahirku ke dunia, belum mengenal rintihan sakit yang kau derita. Lahirku ke dunia, belum mengenal hebatnya perdarahan yang kau alami. Dan lahirku di dunia pun, belum mengenal perih yang kau rasa.
Ibu, maafkan aku...
Kecilku dulu, aku belum mengenal kantukmu yang terbangun karena tangisanku. Pun aku belum mengenal lelahmu merawat dan membesarkanku. Ya, aku masih belum mengenal air mata yang selalu mengalir tiap saat kau mendo'akanku.
Ibu, maafkan aku...
Saat ku mulai bersekolah, aku masih saja belum menyadari bahwa kenakalanku cukup menguras kesabaranmu. Kejengkelan hatiku saat kanak-kanak dahulu, pernah berbuah bentakan padamu. Ibu, aku belum menyadari bahwa hatimu terluka, teriris perih, tapi kau tetap membelaiku lembut tanpa ada beda dari sebelumnya. Kontras dengan kerasnya intonasi ucapanku saat itu padamu.
Ibu, maafkan aku...
anakmu, aku belum mengerti betapa berharganya kehadiranmu dalam segmen-segmen hidupku.
***
Mendungnya kota Malang sore ini, mengajak hatiku tuk merindu. Kelembutan awan kali ini, mengingatkanku akan kelembutan kasih sayang ibu. Keteduhan langit kali ini, membawaku teringat kembali akan keteduhan sorot mata ibu. Dingin yang kurasa ini, mengingatkanku akan hangatnya pelukan ibu.
Rabb, aku tak ingin mengenalnya kala ia telah tiada. Dewasaku kini, tak ingin terlambat mengenalnya. Aku tak ingin terlambat lagi memahami kasih sayang, pengorbanan, dan ketulusannya.
Jauh di sana, ada ibu yang menanti kepulanganku. Jauh di sana, ada ibu yang rindu mendekapku. Jauh di sana, ada ibu yang menyaksikan tercerminnya kebahagiaan dari sorot mataku.
Ibu...
Jagalah ia selalu, Rabb. Cintailah ia melebihi cintanya padaku. Hadirkan selalu keridhaanMu, sebagaimana ia selalu menghadirkan kebahagiaan dalam relung jiwaku. Tuntunlah ia menapaki jalan syurgaMu, sebagaimana ia selalu menuntunku tuk semakin mengenalMu. Dan baikkanlah akhir hayatnya, Rabb, melebihi baiknya kemuliaan akhlak yang ia ajarkan padaku.
sumber : www.kotasantri.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar